BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut pandangan
Marxian bahwa ekonomi suatu masyarakat itu menentukan ideologi. Ini
bertentangan dengan pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa kehidupan ekonomi
masyarakat itu berasal dari ide atau gagasan. Jika melihat perkembangan
masyarakat, kemunculan-kemunculan masyarakat dengan atribut tertentu tidak
terjadi secara tiba-tiba namun ada penyebab atau proses sebelumnya yang
bersifat kausalitas. Dalam risetnya Max Weber meneliti perilaku beragama di AS
khususnya yang beragama Kristen (culvinisme) untuk mengetahui penyebabnya.
Paham calvinisme (takdir),
cara untuk menenagkan suatu kepanikan orang harus berfikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterampilan untuk mencapai keberhasilan. Seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan (ekonomi dan politik) yang dilandasi oleh disiplin dan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang-senang. Dalam masyarakat culvinisme tersebut muncul masyarakat kapitalisme. Munculnya masyarakarat kapitalisme disebabkan karena spirit-spirit dalam beragama masyarakat culvinisme tersebut dibawa kedalam dunia bisnis sehingga mereka semangat untuk memecahkan masalah-masalah di dunia dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Spirit spirit tersebut diantaranya disi[lin, rajin, jujur, dll.
cara untuk menenagkan suatu kepanikan orang harus berfikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterampilan untuk mencapai keberhasilan. Seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan (ekonomi dan politik) yang dilandasi oleh disiplin dan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang-senang. Dalam masyarakat culvinisme tersebut muncul masyarakat kapitalisme. Munculnya masyarakarat kapitalisme disebabkan karena spirit-spirit dalam beragama masyarakat culvinisme tersebut dibawa kedalam dunia bisnis sehingga mereka semangat untuk memecahkan masalah-masalah di dunia dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Spirit spirit tersebut diantaranya disi[lin, rajin, jujur, dll.
Sebagai
suatu tugas dunia pendidikan, pendidikan perlu membekali paeserta didiknya
untuk mampu bersaing di pasar global. Pendidikan kewirausahaan merupakan salah
satu bentuk strategi pemerintah dalam memupuk jiwa wirausaha dengan harapan
mampu menjadi pribadi yang mampu berkompetisi secara finansial. Hakekat dari
program pendidikan kewirausahaan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran
penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan pemeliharaan perilaku
dan sikap. Pelatihan, pembinaan, pemodalan, serta inkubasi yang banyak
digunakan cukup sukses membangun paradigma berwirausaha khususnya bagi kalangan
muda. Namun, pembinaan yang dilakukan dirasakan belum maksimal. Diperlukan
upaya pembinaan dan penanaman jiwa wirausaha sejak dini sebagai bentuk
transformasi paradigma pendidikan wirausaha bagi bangsa untuk ekselerasi
peningkatan ekonomi dan kualitas hidup seseorang.
Jika
dikaitkan dengan asumsi dari Max Weber tentang penerapan etika protestan dan
semangat kapitalisme, maka hal ini mampu memberikan nilai positif terhadap
keberadaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia. Melalui pendidikan
kewirausahaan, pengertian dan penerapan kewirausahaan tidak semata-mata hanya
dinilai dari segi kapitalisme semata, melainkan juga peran aspek semangat
keagamaan dalam jiwa seorang wirausaha.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
saja pokok-pokok isi asumsi Max Weber?
2. Bagaimana
realita pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia?
3. Bagaimana
solusi penerapan asumsi Max Weber terhadap
pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui
apa saja pokok-pokok isi asumsi Max Weber.
2. Mengetahui
bagaimana realita pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia.
3. Mengetahui
bagaimana solusi penerapan asumsi Max Weber terhadap pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di
Indonesia.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme
Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari delapan orang bersaudara. Ayahnya
seorang otoriter sedangkan ibunya adalah seorang saleh yang teraniaya. Diawali oleh esai etika protestan
dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan
utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran
agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran
agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Studi agama menurut Weber
hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu
pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya
sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Dalam
The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan bahwa ketelitian yang khusus,
perhitungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada
abad ke- 16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin
tentang takdir. Etika Protestan
lahir di Eropa melalui agama Protestan yang dikembangkan oleh Calvin. Di sini
muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu
sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke
surga atau neraka. Tetapi, orang yang bersangkutan tentu saja tidak
mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena
ketidak-jelasan nasibnya ini. Pemahaman
tentang takdir menuntut adanya kepercayaan
bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan keeclakaan. Selain
itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui
apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi
seperti mi menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan
kepanikan tersebut adalah orang
harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi
Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk
mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan
aktivitas kehidupan, termasuk
aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasi oleh disiplin clan
bersahaja, menjauhi kehidupan bersenangsenang,
yang didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari
Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat
Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme
tentang takdir memberikan daya dorong psikologis
bagi rasionalisasi dan sebagai perangsang yang kuat dalam meningkatkan
pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.
Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama
tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan
antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial
terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam
nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Doktrin Calvin(ism) dan Semangat Kapitalisme
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber
tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam
komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja
keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga
merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu
semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan
ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam
aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan
menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan
membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga,
sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan
keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai
bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap
keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia
rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan
daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki
oleh Kar Marx.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang
teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat
mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal
revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu
yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu
tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu
cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Konfusianisme dan Taoisme
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan
Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang kepercayaan orang Tiongkok yakni
Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada kepercayaan ini tampaknya
menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam
kehidupan manusia. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam
karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di
Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja
dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud
untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan
Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang
agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari
masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di
bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha
mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam
rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan
studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu
dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan
empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupan masyarakat
Tiongkok.
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa
masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang
mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para
pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok,
disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak
mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak
khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang
muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah
gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga
kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun
jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu
berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan
lagi dengan fakta sosial saat ini.
B.
Kontroversi
Asumsi Max Weber
Etika
protestan ditulis dengan niatan berpolemik. Ini terbukti dalam berbagai
referensi yang dibuat Weber pada ‘Idealisme’ dan ‘Materialisme’. Studi ini,
kata Weber, adalah satu kontribusi untuk memahami bagaimana ide-ide menjadi
kekuatan efektif dalam sejarah dan diarahkan berlawanan dengan determinisme
ekonomi. Reformasi dan berkembangnya sekte-sekte Puritan, tidak bisa dianggap
sebagai hasil historis dari perubahan ekonomi yang terjadi sebelumnya. Namun,
apa yang menyebabkan peningkatan intensitas perdebatan asumsi Max Weber? Alasan
terpenting bagi terbentuknya intensitas emosi adalah dua term utama yang
dipakai Weber, ‘agama’ dan ‘kapitalisme’. Kedua term itu masing-masing
berpotensi eksplosif saat diterapkan ke dalam menginterpretasikan asal-usul
perekonomian modern Barat. Weber berargumen tentang daya transformatif dari
ide-ide religius tertentu, ini mendapat penentangan dari kebanyakan kaum Marxis
kontemporer. Apabila dirinci, mungkin berbagai kritik itu bisa terbagi dalam
beberapa sudut pandang sebagai berikut (Anthony Giddens, 2006):
1. Karakteristik
yang diberikan Weber pada Protestanisme benar-benar keliru. Para kritikus ini
membidik perlakuan Weber terhadap reformasi, interpretasi Weber terhadap
sekte-sekte Puritan secara umum, dan terhadap Calvinisme secara khusus.
2. Weber
salah menginterpretasikan doktrin Katholik. Para kritikus menuding Weber
mungkin tidak mempelajari Katholikisme lebih lebih detail; meski argumen Weber
didasarkan pada adanya perbedaan mendasar antara Katholikisme dan Protestanisme
dalam nilai-nilai yang relevan dengan ekonomi.
3. Pernyataan
Weber tentang koneksi antara Puritanisme dan kapitalisme modern didasarkan pada
materi-materi empiris yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
4. Weber
tidak bisa diterima saat menggambarkan secara kontras antara kapitalisme modern
atau ‘rasional’ dengan tipe-tipe aktivitas kapitalisme era sebelumnya.
5. Weber
keliru dalam mengungkapkan hubungan kausal alami antara Puritanisme dan
kapitalisme modern. Para kritikus berpendapat bahwa tidak ada hubungan
sebab-akibat semacam itu.
C.
Pendidikan
Kewirausahaan di Indonesia
Pendidikan
Kewirausahaan, secara harafiah terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan
kewirausahaan (entrepreneurship). Kewirausahaan
adalah proses menciptakan sesuatu nilai yang berbeda dengan mencurahkan waktu
dan upaya yang diperlukan, memikul risiko-risiko finansial, psikis dan sosial
yang menyertai, serta menerima penghargaan atau imbalan moneter dan kepuasan
pribadi. Menurut asumsi Andrew J Dubrin, kewirausahaan adalah seseorang yang
mendirikan dan menjalankan sebuah usaha yang inovatif (Entrepreneurship is a person who founds and operates an innovative
business). Dari definisi tentang Entrepreneurship
tersebut terdapat 3 tema penting yang dapat di identifikasi:
1. The pursue of opportunities.
Entrepreneurship adalah berkenaan
dengan mengejar kecenderungan dan perubahan-perubahan lingkungan yang orang
lain tidak melihat dan memperhatikannya.
2. Innovation.
Entrepreneurship mencakup perubahan
perombakan, pergantian bentuk, dan memperkenalkan pendekatan-pendekatan baru, yaitu
produk baru atau cara baru dalam melakukan bisnis.
3. Growth.
Entrepreneur menginginkan bisnisnya
tumbuh dan bekerja keras untuk meraih pertumbuhan sambil secara
berkelanjutan mencari kecenderungan dan terus melakukan innovasi produk dan
pendekatan baru.
Istilah kewirausahaan
pada dasarnya merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai,
kemampuan (ability) dan perilaku
seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan
berbagai risiko yang mungkin dihadapinya. Seorang wirausaha adalah orang-orang
yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara
epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam
berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya,
tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup.
Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat,
merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang
berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang
sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu yang
baru.
Pendidikan merupakan
upaya mengembangkan kualitas pribadi manusia dan membangun karakter bangsa yang
dilandasi nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, sosial budaya,dan ipteks yang
bermuara untuk membentuk pribadi manusia yang bermoral, berakhlak mulia dan
berbudi luhur.
Pentingnya
wiraswasta atau wirausaha ditinjau dari segi pelayanan pendidikan
Pendidikan adalah upaya untuk menolong
manusia memperoleh kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup dapat dicapai
apabila manusia mengalami perkembangan pribadi secara maksimal. Pendidikan
dilangsungkan untuk membantu perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia
sehingga dengan demikian manusia itu dapat mengusahakan kehidupannya sendiri
yang sejahtera. Tujuan pendidikan adalah mewujudkan pribadi-pribadi yang mampu menolong
diri sendiri ataupun orang lain, sehingga dengan demikian terwujudlah kehidupan
manusia yang sejahtera. Untuk itu pendidikan memberikan latihan-latihan
terhadap karakter, kognisi, serta jasmani manusia. Apabila ditinjau dari segi
tujuan serta fungsi pendidikan tersebut di atas, maka kita dapat menimba akan
arti pentingnya wiraswasta. Agar manusia mampu mewujudkan kehidupan sejahtera,
maka mereka (baik yang memberikan ataupun yang memperoleh pendidikan) hendaknya
memiliki pandangan serta pemahaman tentang kewirausahaan atau kewiraswastaan
demi tercapainya tujuan akhir pendidikan. Kesejahteraan hidup harus dicapai
melalui bekerja. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh manusia belum tentu
menghasilkan sesuatu yang berarti bagi perwujudan kehidupan sejahtera yang
mereka idam-idamkan. Agar pekerjaan manusia menjadi efektif, manusia harus
banyak belajar. Kualitas para tamatan pendidikan formal yang kurang mau dan
kurang mampu untuk menjadi manusia-manusia wiraswasta tidak dapat sepenuhnya
kita tuduhkan pada kelemahan pelayanan pendidikan formal. Banyak faktor dan
banyak pihak yang bertanggungjawab atas kurangnya mutu kehidupan manusia.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Asumsi Dasar Max Weber
Diawali oleh esai etika
protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu
alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek
pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan
pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan
alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda.
Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan
(protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa
dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain
diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan
dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi
terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi.
Kaum Marxisme,
menegaskan bahwa agama Protestant merupakan suatu refleksi ideologis dari
perubahan-perubahan ekonomi yang didatangkan dengan perkembangan awal
kapitalisme. Dengan menolak hal ini sebagai suatu titik pengelihatan yang
wajar, karya Weber bermula dari keganjilan penyimpangan yang jelas terlihat dan
yang diidentifikasinya serta penjelasannya merupakan orisinalitas sebenarnya
dari The Protestan Ethic. Biasanya demikianlah bahwa mereka yang hidupnya
terpaut dengan kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh
tidak acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan dengan agama, karena
kegiatan-kegiatan mereka tertuju pada dunia ‘materiil’. Akan tetapi agama
Protestan disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katholik, dan
dengan demikian memasukkan suatu faktor keagamaan di semua bidang kehidupan
para penganutnya. Dari sini dapat dilihat hubungan antara agama Protestan
dengan kapitalisme modern. Bahwa kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan
telah merangsang kegiatan ekonomi. Bukan hanya agama Protestan yang berbeda
dalam segi-segi penting tertentu dengan bentuk keagamaan yang mendahuluinya,
akan tetapi juga kapitalisme modern menampakkan ciri-ciri khas dasar, yang
membedakannya dari jenis-jenis kegiatan ekonomi yang mendahuluinya. Berbagai
bentuk lain dari kapitalisme yang ditemukan oleh Weber, semuanya didapatkan
dalam masyarakat-masyarakat yang ditandai secara khas oleh ‘tradisionalisme
ekonomi’. Sikap-sikap terhadap kerja, yang menandai secara khas tradisionalisme,
dijelaskan secara grafis, oleh pengalaman majikan-majikan kapitalisme modern,
yang telah berusaha memperkenalkan metode-metode produksi kontemporer ke dalam
komunitas-komunitas yang belum pernah mengenal metode-metode tersebut
sebelumnya.
Kapitalisme modern, pada
kenyataannya bukan didasarkan atas pengejaran keuntungan
yang tidak bermoral, akan tetapi berdasarkan kewajiban bekerja dengan disiplin
sebagai suatu tugas. Weber mengidentifikasikan segi-segi utama dari ‘semangat’
kapitalisme modern sebagai berikut:
1.
Semangat kapitalisme modern, ditandai secara khas oleh
suatu kombinasi unik dari ketaatan kepada usaha memperoleh kekayaan dengan
melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha menghindari
pemanfaatan penghasilan ini untuk kenikmatan pribadi semata-mata. Hal ini
berakar dalam suatu kepercayaan atas penyelesaian secara efisien, sebagai suatu
kewajiban dan kebajikan.
2.
The Protestan Ethic hanya menaruh perhatian pada usaha
menemukan karya intelektual siapakah bentuk konkrit khusus dari pikiran rasional
itu, darimana berasal gagasan suatu panggilan dan pencurahan tenaga dan
perhatian kepada kerja yang ada dalam panggilan itu.
3.
Menurut Weber, konsepsi ‘panggilan’ baru timbul
sewaktu terselenggaranya reformasi. ‘Panggilan’ ini tidak ditemui ataupun tidak
ada padanannya di dalam agama Katholik atau di zaman purba. Arti penting dari
gagasan panggilan, dan caranya diterapkan dalam kepercayaan-kepercayaan
Protestan, ialah bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-urusan biasa dari
kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama disegala aspek.
Pengaruh Agama Ascetis Protestanisme
Weber membedakan empat aliran utama
dari agama Protestan ascetic yaitu: Calvinisme, Metodisme, Pietisme dan sekte
Baptis. Bagian penting dalam analisa Weber, terpusat kepada Calvinisme. Ia
lebih menitikberatkan kepada doktrin-doktrin yang diwujudkan dalam
ajaran-ajaran kaum Calvin yang terjadi pada akhir abad ke-16 dan abad ke-17.
Weber kemudian melanjutkan mengidentifikasi tiga ajaran utama yang sangat
penting dalam Calivinisme yaitu:
a.
Doktrin yang mengajarkan bahwa alam semesta ini
diciptakan untuk lebih meningkatkan keagungan Tuhan yang hanya mempunyai arti
jika dikaitkan dengan maksud-maksud Tuhan. Tuhan itu tidak ada demi manusia,
tetapi manusia itu ada demi kepentingan Tuhan.
b.
Prinsip bahwa maksud-maksud yang Maha Kuasa, berada di
luar jangkauan pengertian manusia. Manusia hanya bisa mengetahui
butiran-butiran kecil dari kebenaran Tuhan, bilamana dikehendakinya untuk
diketahui oleh manusia.
c.
Percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan oleh
Tuhan; hanya sedikit orang yang terpilih untuk memperoleh kasih sayang yang
abadi. Hal ini merupakan sesuatu yang telah diberikan tanpa bisa diambil
kembali dari saat pertama penciptaan; kasih sayang abadi ini tidak terpengaruh
oleh kegiatan manusia, karena bila ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan manusia
bisa mempengaruhinya maka ini berarti mempunyai pikiran
bahwa kegiatan-kegiatan manusia bisa mempengaruhinya, penilaian Tuhan yang
kudus.
Weber berargumentasi bahwa akibat
dari doktrin ini, terutama point ke tiga maka muncullah dua tanggapan mengenai
hal tersebut. Pertama tanggapan bahwa individu harus merasakan sebagai suatu
kewajiban untuk menganggap dirinya sebagai yang terpilih: tiap keragu-raguan
tentang kepastian pemilihan itu merupakan bukti dari kepercayaan yang tidak
sempurna dan oleh karenanya tidak ada kasih sayang. Kedua tanggapan bahwa
kegiatan duniawi yang sangat mendalam merupakan sarana yang cocok untuk
mengembangkan dan mempertahankan keharusan memilih kepercayaan kepada diri
sendiri. Dengan demikian, penyelesaian “karya bajik” menjadi dianggap sebagai
suatu ‘tanda’ terpilih – bukannya suatu metode untuk memperoleh keselamatan
dalam segi apapun, akan tetapi lebih bersifat penghapusan kesangsian tentang
keselamatan.
Bagi penganut Calvinisme, kerja di
dunia materiil berkaitan dengan penilaian etika positif tertinggi. Memiliki
kekayaan tidak memberikan suatu pengecualian apapun kepada seorang dari
perintah Tuhan untuk bekerja tekun dan taat dalam panggilannya. Penting sekali dan
menentukan bagi analisis Weber, bahwa ciri-ciri khas ini tidak ‘logis’, akan
tetapi merupakan akibat-akibat psikologis dari doktrin orisinil mengenai takdir
seperti yang dirumuskan oleh Calvin. Dengan demikian asal mula semangat
kapitalis harus dicari dalam etika agama, yang paling penting cermat
dikembangkan dalam aliran Calvinisme.
Selain membicarakan
tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan
tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada
agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas
kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya
yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya
tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang
sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak
menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional
dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama
tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar
kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber selain dari salah
satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern,
dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya
dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang
karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi
yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya :
adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya
prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang
yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang
benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber
mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga
pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik
rasionalisasi.
B.
Realita Pendidikan Kewirausahaan di Indonesia
Menurut data statistik, jumlah penduduk Indonesia
tahun 2010 adalah sebanyak 234 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2011
menjadi 247 juta jiwa. Jumlah penduduk yang banyak ini merupakan tugas lebih
bagi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sebagai generasi
muda kita hendaknya dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah bukan dengan
menjadi bagian dari masalah yang ada. Salah satu contoh tindakan kontribusi
tersebut adalah melalui perubahan menuju kemandirian dan kewirausahaan.
Beberapa
kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah ada kalanya dianggap
merugikan operasional kegiatan wirausaha dalam bidang industri kecil dan
menengah. Sebagai contoh penerapan ACFTA (Asean China Free Trade Agreement)[2]
yang menyebabkan sentra industri sepatu di cibaduyut harus berjuang lebih keras
untuk dapat menyaingin produk china yang masuk ke Indonesia dan rata-rata lebih
murah dibandingkan harga sepatu buatan industri cibaduyut meskipun dengan
kualitas produk dalam negeri yang tak kalah bagus. Selama akhir dekade ’90-an,
produk sepatu hasil industri cibaduyut banyak yang diekspor ke negara-negara wilayah
timur tengah dan kualitasnya sudah diakui oleh pelanggan dari negara Arab. Akan
tetapi, akibat dari kebijakan ACFTA yang memberikan bea masuk sangat rendah
(0-5%) untuk barang produksi china sedangkan bahan baku industri sepatu dalam
negeri masih tinggi menyebabkan sepatu produksi Indonesia kalah bersaing dengan
produk China. Harga produksi sepatu indonesia masih tergolong mahal bagi
konsumen sendiri yaitu masyarakat sehingga kebanyakan masyarakat justru menjadi
pelanggan produk china.
Dalam
hal menyikapi resiko seperti contoh di atas seorang entrepreneur harus mampu
bepikir out of the box untuk keluar dari krisis, merespon masalah secara nyata,
berani mengambil resiko dan akan lebih baik lagi bila mampu mengubah krisis
yang ada menjadi peluang. Pemerintah sudah menjalankan program berupa bantuan
ekonomi dalam bentuk kredit modal, bantuan promosi, maupun usaha pelatihan
manajemen dan marketing. Namun demikian, inisiatif dan motivasi untuk menjadi
seorang entrepreneur maupun bertindak menjalankan usaha yang ada dengan
jiwa-jiwa entrepreneur perlu ditumbuhkan dalam kalangan generasi muda bangsa.
Salah satunya melalui Pendidikan Kewirausahaan. Pendidikan kewirausaahan tampaknya sudah harus
mulai diajarkan kepada generasi muda, yaitu pelajar di Indonesia. Tak dapat
dielakkan lagi, salah satu agenda mendesak negara ini adalah mengatur
penyerapan tenaga kerja serta upaya mengurangi dampak kemiskinan akibat dari
krisis moneter dan era globalisasi yang kurang diimbangi dengan peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Pendidikan kewirausahaan bukan berarti lembaga
pendidikan formal maupun non formal seperti sekolah atau kursus, melainkan
semacam praktek pendidikan yang bisa membentuk jiwa wirausaha dimulai dari
ruang lingkup paling kecil yaitu lingkungan keluarga. Sosialisasi forum
kewirausahaan sudah banyak diadakan dengan gencar di kampus-kampus. Namun,
menurut penulis, kemunculan jiwa-jiwa wirausaha masih perlu ditingkatkan.
Faktor internal dari segi kemauan perlu dimantapkan terlebih dahulu hingga
tekad yang sudah ada dapat memicu kreativitas dan inovasi.
Praktiknya,
terdapat beberapa kendala yang menyebabkan kurang efektifnya pendidikan
kewirausahaan di Indonesia. Beberapa kendala dalam mengadakan pendidikan
kewirausahaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Peserta
didik yang tidak berani untuk memulai berbisnis kecil-kecilan karena bisa
menganggu belajar sekolah. Pihak orang tua juga kadang melarang karena takut
anaknya menjadi tidak fokus belajar.
2. Persepsi
mencari kerja masih lebih banyak dianut daripada mewujudkan lapangan kerja.
3. Pendidikan
kewirausahaan di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan
norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
4. Anggapan
bahwa modal utama berwirausaha adalah uang, padahal keyakinanlah yang
diperlukan untuk tumbuh dan menang sebab menjadi seorang wirausahawan harus
bersahabat dengan ketidakpastian.
5. Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga
pendidikan dan buah learning by doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang
berpendapat jiwa kewirausahaan tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan,
ada pendapat lain bisa dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan.
C.
Solusi Penerapan Asumsi Max Weber terhadap
Pendidikan Kewirausahaan di Indonesia
Diawali dengan pemaparan asumsi Max Weber tentang
pahan Culvinisme yang menyatakan bahwa Tuhan telah menakdirkan golongan
orang-orang yang terkutuk dan golongan orang-orang yang terselamatkan. Maka
sebagai wujud diberkati Tuhan, seseorang harus berhasil dalam hidupnya, karena
tidaklah ada keberhasilan yang tidak deberkati oleh Tuhan. Etika protestan
ditengarai sebagai dasar semangat kapitalisme di Barat. Etika protestan yang
merupakan spirit agama, yang diaplikasikan dalam bentuk spirit ‘dunia’. Apakah semangat
kapitalisme ini mampu diterapkan di negara Indonesia dalam bentuk pendidikan
kewirausahaan?
Sebelum merefleksikan asumsi Max Weber dalam
pendidikan kewirausahaan di Indonesia, perlu diketahui rangkuman isi
pokok-pokok ajaran kapitalisme modern dengan dasar etika protestan adalah
sebagai berikut:
a.
fenomena empiris
dimana Max Weber menemukan ada korelasi antara agama protestan dan kondisi
prakapitalis.
b.
agen-agen
penting didominasi oleh kaum protestan.
c.
etika protestan
: bekerja sungguh-sungguh, tidak berfoya-foya, dan tidak konsumtif untuk
mendorong kesuksesandi kehidupan nyata sebagai wujud kaum yang terselamatkan.
d.
Etika protestan
dan semangat kapitalisme, berpengaruh besar dalam peralihan ekonomi tradisional
ke ekonomi modern.
Sedangkan
kekurangan dari teori Max Weber, dapat dianalisi sebagai berikut:
a.
hanya
menjelaskan etika protestan tanpa menggali variable lain. misalnya budaya
masyarakat, konflik sosial, dll.
b.
lebih kearah
hanya pembuktian dari suatu fenomena tanpa arahan yang jelas untuk mengkondisikan
pada suatu fenomena.
Sedangkan kelebihan
dari teori Max Weber, dapat dianalisi sebagai berikut:
a.
memberikan
alternatif pemikiran dan pembuktian bahwa tidak selamanya spiritualitas dan
kepatuhan pada agama itu bersifat oposan dengan kemajuan.
b.
memberikan
penjelasan bahwa terdapat keselarasan antara kemajuan dan agama.
Apabila
dikaitkan dengan keberadaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia, realitanya
masih sangat jauh dari arti ‘semangat kapitalisme’. Realita pendidikan
kewirausahaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1)
Wirausaha tidak
terlalu diminati oleh masyarakat Indonesia
dikarenakan masyaraka indonesia tidak suka mengambil resiko demi untuk
mendapatkan sebuah keuntungan, atau dengan kata lain, orang-orang indonesia
lebih menyukai hal-hal yang instant dan mudah didapat. Penanaman karakter yang
tidak dididik untuk bekerja keras sejak dini menyebabkan tidak adanya semangat
untuk survive sebagai seorang
wirausaha. Realitanya dalam masyarakat para orang tua sering berkata
"tugas kamu adalah sekolah, tidak usah mencari uang, mencari uang itu
tugas bapak", jika hal ini dibiarkan, maka seterusnya anak akan lebih suka
bergantung pada orang tua, dan pada akhirnya akan menyukai hal-hal instant.
Selain itu, paradigma mengejar nilai sekolah yang tinggi adalah sebuah jaminan
keberhasilan seorang anak, masih berkembang di masyarakat kita.
2)
Masyarakat Indonesia
lebih suka bekerja sebagai pegawai, apalagi jika menjadi pegawai sebuah
perusahaan asing. Penyebab ketertarikan orang Indonesia terhadap perusahaan
asing adalah adanya paradigma ‘bangga’ jika mampu bekerja pada orang asing yang
notabene levelnya lebih tinggi dari
perusahaan di Indonesia.
3)
Kurangnya
pendidikan karakter dalam hal kepemimpinan menyebabkan rasa ragu dan takut
untuk memulai dan memimpin usaha sendiri (wirausaha).
Melihat kecenderungan sulitnya menerapkan pendidikan
kewirausahaan di Indonesia, maka diperlukan proses yang sistematis dan sistemik
untuk menerapkan spirit kapitalisme. Pandangan atau asumsi Max Weber dapat
diterapkan pada pendidikan kewirausahaan di Indonesia, akan tetapi dengan
prasyarat diadakannya sumber etika atau ajaran untuk mengkritisi ajaran yang
baik dan buruk dalam berwirausaha serta transformasi kultural terhadap
kebudayaan ‘tradisional’ di Indonesia. Sumber etika dimulai dari penanaman
ajaran-ajaran (agama, pendidikan karakter, softskill,dll) yang nantinya mampu
menjadi dasar pengembangan serta penerapan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sumber etika dalam berwirausaha di
kawasan Eropa (Barat) menurut Max Weber timbul dari spirit protestanisme, akan
tetapi Indonesia bukanlah negara yang menganut paham kapitalisme modern.
Pendidikan kewirausahaan di Indonesia sebenarnya sudah memiliki suatu sumber
ajaran atau nilai-nilai pokok kewirausahaan yang ingin dikembangkan melalui
pendidikan kewirausahaan, yang dirumuskan sebagai 6 tahap implementasi
nilai-nilai kewirausahaan sebagai berikut:
1.
Mandiri
2.
Kreatif
3.
Berani mengambil
resiko
4.
Berorientasi
pada tindakan
5.
Kepemimpinan
6.
Kerja keras
Akan tetapi, rupanya pendidikan kewirausahaan di Indonesia
belum sepenuhnya mampu melaksanakan ke enam kriteria pokok pembelajaran
kewirausahaan. Untuk mengoptimalkan peran pendidikan kewirausahaan diperlukan
transformasi kultural untuk membentuk mindset
seorang wirausaha sepenuhnya. Pendidikan sebagai sebuah proses transformasi
budaya, berarti suatu bentuk kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke
generasi yang lain. Nilai-nilai
budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke
generasi muda. Pewarisan kebudayaan ini dilakukan dalam tiga benutk yaitu
1. Nilai-nilai
kebudayaan yang sesuai akan diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa
tanggung jawab, dan lain-lain.
2. Nilai-nilai
kebudayaan yang kurang sesuai akan dilakukan perbaikan dan penyesuaian yang
akanmelahirkan bentuk kebudayaan baru
3. Nilai-nilai
kebudayaan yang tidak sesuai akan diganti dengan bentuk kebudayaan baru.
Transformasi
budaya atau pewarisan budaya sangat diperlukan untuk memberikan scafolding dalam pelaksanaan pendidikan
kewirausahaan. Selain itu, diperlukan dua bentuk penting transformasi budaya,
yaitu keyakinan atau belief, nilai atau values yang akan
berujung pada karakter. Terlepas dari pembenahan sumber ajaran dan nilai-nilai
kebudayaan, masalah yang masih dihadapi Indonesia sekarang ini adalah
pentingnya mengubah mindset etos
pencari kerja menjadi etos wirausaha. Untuk mensukseskan program pendidikan
kewirausahaan diperlukan dukungan dari komponen-komponen yang berpengaruh dalam
lingkungan sistem masyarakat dan pendidikan. Peran agama yang menurut Max Weber
seagai pendorong utama dalam semangat kapitalisme di Barat, tidak sepenuhnya
sebagai faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara
di Dunia.
BAB IV
KESIMPULAN
Paham culvinisme adalah
paham yang beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan golongan kaum yang
terselamatkan serta golongan kaum yang terkutuk. Menyikapi keresahan akan
golongan-golongan tersebut, maka Weber berasumsi bahwa untuk masuk kedalam
golongan yang terselamatkan, seseorang harus bekerja keras di dunia untuk
memperoleh keberhasilan hidup, karena seseorang yang berhasil tentunya adalah
orang yang diberkati Tuhan. Semangat inilah yang kemudian dinamakan semangat
protestanisme. Dalam essainya Max Weber menjelaskan hubungan antar etika
protestan dengan spirit kapitalisme, bahwa di dalam ajaran agama Protestan terdapat
ajaran tentang etos kerja yang mampu menjadi spirit kapitalisme modern.
Calvinisme, menurut
Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi para wirausahawan kapitalis.
Weber mengungkapkan, doktrin-doktrin Calvinisme memiliki ‘konsistensi besi’ dalam
disiplin habis-habisan yang dituntut dari para pengikutnya. Akan tetapi
munculnya kapitalisme modern tidak hanya dipengaruhi oleh paham calvinisme,
akan tetapi adal beberapa faktor lain
seperti faktor pembangunan, sistem akuntansi, dan salah satunya adalah faktor
pewarisan budaya melaui jalur pendidikan. Pendidikan kewirausahaan yang
dimaksudkan adalah mampu menjadi transformer budaya atau tradisi turun menurun.
Sebagai kesimpulan,
maka dalam penerapan asumsi semangat kapitalisme, Indonesia telah memiliki
seumber ajaran etika dalam pelaksanaan pendidikan kewirausahaan, akan tetapi
dalam prakteknya, masih kurang. Hal pendukung yang tidak kalah pentingnya
adalah transformasi budaya dengan memfilter budaya-budaya pembangun etos kerja
serta menghindari paham tradisional yang membuat program wirausaha sulit
berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Andreski, Stanislav.
1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi,
dan Agama. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya.
http://abdullatif-abdullatif.blogspot.com/2012/01/etika-protestan-max-weber_13.html diakses pada Senin, 30 April 2012 pukul 20:26
WIB.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/09/11340991/Urgensi.Pendidikan.Kewirausahaan
diakses pada Rabu, 2 Mei 2012 pukul 20.00 WIB.
http://kem.ami.or.id/2011/09/pendidikan-kewirausahaan-bagi-pelajar-di-Indonesia/ diakses pada Rabu, 2 Mei 2012 pukul 20.00
WIB.
http://kem.ami.or.id/2011/10/pengembangan-kewirausahaan-di-indonesia/
diakses pada Rabu, 2 Mei 2012 pukul 20.00 WIB.
http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/teori-max-weber/ diakses pada Selasa, 24 April 2012 pukul
21:12 WIB.
http://radarlampung.co.id/read/opini/40085-pendidikan-kewirausahaan-membentuk-karakter-bangsa
diakses pada Rabu, 2 Mei 2012 pukul 20.00 WIB.
http://www.santoslolowang.com/data/Artikel/Hukum_dan%20_Perubahan_Sosial.pdf diakses pada Selasa, 24
April 2012 pukul 21:22 WIB.
Soemanto, Wasty.1999.Pendidikan Wiraswasta.
Jakarta:Bumi Aksara.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar