Pages

Rabu, 12 Desember 2012

Penerapan asumsi Max Weber terhadap Pendidikan Kewirausahaan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Menurut pandangan Marxian bahwa ekonomi suatu masyarakat itu menentukan ideologi. Ini bertentangan dengan pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat itu berasal dari ide atau gagasan. Jika melihat perkembangan masyarakat, kemunculan-kemunculan masyarakat dengan atribut tertentu tidak terjadi secara tiba-tiba namun ada penyebab atau proses sebelumnya yang bersifat kausalitas. Dalam risetnya Max Weber meneliti perilaku beragama di AS khususnya yang beragama Kristen (culvinisme) untuk mengetahui penyebabnya. Paham calvinisme (takdir),
cara untuk menenagkan suatu kepanikan orang harus berfikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterampilan untuk mencapai keberhasilan. Seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan (ekonomi dan politik) yang dilandasi oleh disiplin dan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang-senang. Dalam masyarakat culvinisme tersebut muncul masyarakat kapitalisme. Munculnya masyarakarat kapitalisme disebabkan karena spirit-spirit dalam beragama masyarakat culvinisme tersebut dibawa kedalam dunia bisnis sehingga mereka semangat untuk memecahkan masalah-masalah di dunia dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Spirit spirit tersebut diantaranya disi[lin, rajin, jujur, dll.
Sebagai suatu tugas dunia pendidikan, pendidikan perlu membekali paeserta didiknya untuk mampu bersaing di pasar global. Pendidikan kewirausahaan merupakan salah satu bentuk strategi pemerintah dalam memupuk jiwa wirausaha dengan harapan mampu menjadi pribadi yang mampu berkompetisi secara finansial. Hakekat dari program pendidikan kewirausahaan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan pemeliharaan perilaku dan sikap. Pelatihan, pembinaan, pemodalan, serta inkubasi yang banyak digunakan cukup sukses membangun paradigma berwirausaha khususnya bagi kalangan muda. Namun, pembinaan yang dilakukan dirasakan belum maksimal. Diperlukan upaya pembinaan dan penanaman jiwa wirausaha sejak dini sebagai bentuk transformasi paradigma pendidikan wirausaha bagi bangsa untuk ekselerasi peningkatan ekonomi dan kualitas hidup seseorang.
Jika dikaitkan dengan asumsi dari Max Weber tentang penerapan etika protestan dan semangat kapitalisme, maka hal ini mampu memberikan nilai positif terhadap keberadaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia. Melalui pendidikan kewirausahaan, pengertian dan penerapan kewirausahaan tidak semata-mata hanya dinilai dari segi kapitalisme semata, melainkan juga peran aspek semangat keagamaan dalam jiwa seorang wirausaha.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa saja pokok-pokok isi asumsi Max Weber?
2.      Bagaimana realita pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia?
3.      Bagaimana solusi penerapan asumsi Max Weber terhadap  pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia?

C.           Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa saja pokok-pokok isi asumsi Max Weber.
2.      Mengetahui bagaimana realita pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia.
3.      Mengetahui bagaimana solusi penerapan asumsi Max Weber terhadap  pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia.





BAB II
KAJIAN TEORI

A.           Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari delapan orang bersaudara. Ayahnya seorang otoriter sedangkan ibunya adalah se­orang saleh yang teraniaya. Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Studi agama menurut Weber hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhi­tungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke- 16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Etika Protestan lahir di Eropa melalui agama Protestan yang dikembangkan oleh Calvin. Di sini muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga atau neraka. Tetapi, orang yang bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidak-jelasan nasibnya ini. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya keper­cayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselama­tan dan keeclakaan. Selain itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti mi menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan kepani­kan tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidup­an, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasi oleh disiplin clan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang­senang, yang didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir memberikan daya dorong psikolo­gis bagi rasionalisasi dan sebagai perangsang yang kuat da­lam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.
Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.

Doktrin Calvin(ism) dan Semangat Kapitalisme
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.

Konfusianisme dan Taoisme
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang kepercayaan orang Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada kepercayaan ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupan masyarakat Tiongkok.
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.

B.            Kontroversi Asumsi Max Weber
Etika protestan ditulis dengan niatan berpolemik. Ini terbukti dalam berbagai referensi yang dibuat Weber pada ‘Idealisme’ dan ‘Materialisme’. Studi ini, kata Weber, adalah satu kontribusi untuk memahami bagaimana ide-ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah dan diarahkan berlawanan dengan determinisme ekonomi. Reformasi dan berkembangnya sekte-sekte Puritan, tidak bisa dianggap sebagai hasil historis dari perubahan ekonomi yang terjadi sebelumnya. Namun, apa yang menyebabkan peningkatan intensitas perdebatan asumsi Max Weber? Alasan terpenting bagi terbentuknya intensitas emosi adalah dua term utama yang dipakai Weber, ‘agama’ dan ‘kapitalisme’. Kedua term itu masing-masing berpotensi eksplosif saat diterapkan ke dalam menginterpretasikan asal-usul perekonomian modern Barat. Weber berargumen tentang daya transformatif dari ide-ide religius tertentu, ini mendapat penentangan dari kebanyakan kaum Marxis kontemporer. Apabila dirinci, mungkin berbagai kritik itu bisa terbagi dalam beberapa sudut pandang sebagai berikut (Anthony Giddens, 2006):
1.    Karakteristik yang diberikan Weber pada Protestanisme benar-benar keliru. Para kritikus ini membidik perlakuan Weber terhadap reformasi, interpretasi Weber terhadap sekte-sekte Puritan secara umum, dan terhadap Calvinisme secara khusus.
2.    Weber salah menginterpretasikan doktrin Katholik. Para kritikus menuding Weber mungkin tidak mempelajari Katholikisme lebih lebih detail; meski argumen Weber didasarkan pada adanya perbedaan mendasar antara Katholikisme dan Protestanisme dalam nilai-nilai yang relevan dengan ekonomi.
3.    Pernyataan Weber tentang koneksi antara Puritanisme dan kapitalisme modern didasarkan pada materi-materi empiris yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
4.    Weber tidak bisa diterima saat menggambarkan secara kontras antara kapitalisme modern atau ‘rasional’ dengan tipe-tipe aktivitas kapitalisme era sebelumnya.
5.    Weber keliru dalam mengungkapkan hubungan kausal alami antara Puritanisme dan kapitalisme modern. Para kritikus berpendapat bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat semacam itu.

C.           Pendidikan Kewirausahaan di Indonesia
Pendidikan Kewirausahaan, secara harafiah terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan kewirausahaan (entrepreneurship). Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu nilai yang berbeda dengan mencurahkan waktu dan upaya yang diperlukan, memikul risiko-risiko finansial, psikis dan sosial yang menyertai, serta menerima penghargaan atau imbalan moneter dan kepuasan pribadi. Menurut asumsi Andrew J Dubrin, kewirausahaan adalah seseorang yang mendirikan dan menjalankan sebuah usaha yang inovatif (Entrepreneurship is a person who founds and operates an innovative business). Dari definisi tentang Entrepreneurship tersebut terdapat 3 tema penting yang dapat di identifikasi:
1.    The pursue  of opportunities. Entrepreneurship adalah berkenaan dengan mengejar kecenderungan dan perubahan-perubahan lingkungan yang orang lain tidak melihat dan memperhatikannya.
2.    Innovation. Entrepreneurship mencakup perubahan perombakan, pergantian bentuk, dan memperkenalkan pendekatan-pendekatan baru, yaitu produk baru atau cara baru dalam melakukan bisnis.
3.    Growth. Entrepreneur menginginkan bisnisnya tumbuh dan bekerja keras untuk meraih pertumbuhan  sambil secara berkelanjutan mencari kecenderungan dan terus melakukan innovasi produk dan pendekatan baru.
Istilah kewirausahaan pada dasarnya merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin dihadapinya. Seorang wirausaha adalah orang-orang yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup. Seorang wirausahawan tidak hanya dapat berencana, berkata-kata tetapi juga berbuat, merealisasikan rencana-rencana dalam pikirannya ke dalam suatu tindakan yang berorientasi pada sukses. Maka dibutuhkan kreatifitas, yaitu pola pikir tentang sesuatu yang baru, serta inovasi, yaitu tindakan dalam melakukan sesuatu yang baru.
Pendidikan merupakan upaya mengembangkan kualitas pribadi manusia dan membangun karakter bangsa yang dilandasi nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, sosial budaya,dan ipteks yang bermuara untuk membentuk pribadi manusia yang bermoral, berakhlak mulia dan berbudi luhur.



Pentingnya wiraswasta atau wirausaha ditinjau dari segi pelayanan pendidikan
   Pendidikan adalah upaya untuk menolong manusia memperoleh kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup dapat dicapai apabila manusia mengalami perkembangan pribadi secara maksimal. Pendidikan dilangsungkan untuk membantu perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia sehingga dengan demikian manusia itu dapat mengusahakan kehidupannya sendiri yang sejahtera. Tujuan pendidikan adalah mewujudkan pribadi-pribadi yang mampu menolong diri sendiri ataupun orang lain, sehingga dengan demikian terwujudlah kehidupan manusia yang sejahtera. Untuk itu pendidikan memberikan latihan-latihan terhadap karakter, kognisi, serta jasmani manusia. Apabila ditinjau dari segi tujuan serta fungsi pendidikan tersebut di atas, maka kita dapat menimba akan arti pentingnya wiraswasta. Agar manusia mampu mewujudkan kehidupan sejahtera, maka mereka (baik yang memberikan ataupun yang memperoleh pendidikan) hendaknya memiliki pandangan serta pemahaman tentang kewirausahaan atau kewiraswastaan demi tercapainya tujuan akhir pendidikan. Kesejahteraan hidup harus dicapai melalui bekerja. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh manusia belum tentu menghasilkan sesuatu yang berarti bagi perwujudan kehidupan sejahtera yang mereka idam-idamkan. Agar pekerjaan manusia menjadi efektif, manusia harus banyak belajar. Kualitas para tamatan pendidikan formal yang kurang mau dan kurang mampu untuk menjadi manusia-manusia wiraswasta tidak dapat sepenuhnya kita tuduhkan pada kelemahan pelayanan pendidikan formal. Banyak faktor dan banyak pihak yang bertanggungjawab atas kurangnya mutu kehidupan manusia.






BAB III
PEMBAHASAN

A.           Asumsi Dasar Max Weber
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi.
Kaum Marxisme, menegaskan bahwa agama Protestant merupakan suatu refleksi ideologis dari perubahan-perubahan ekonomi yang didatangkan dengan perkembangan awal kapitalisme. Dengan menolak hal ini sebagai suatu titik pengelihatan yang wajar, karya Weber bermula dari keganjilan penyimpangan yang jelas terlihat dan yang diidentifikasinya serta penjelasannya merupakan orisinalitas sebenarnya dari The Protestan Ethic. Biasanya demikianlah bahwa mereka yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh tidak acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan dengan agama, karena kegiatan-kegiatan mereka tertuju pada dunia ‘materiil’. Akan tetapi agama Protestan disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katholik, dan dengan demikian memasukkan suatu faktor keagamaan di semua bidang kehidupan para penganutnya. Dari sini dapat dilihat hubungan antara agama Protestan dengan kapitalisme modern. Bahwa kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang kegiatan ekonomi. Bukan hanya agama Protestan yang berbeda dalam segi-segi penting tertentu dengan bentuk keagamaan yang mendahuluinya, akan tetapi juga kapitalisme modern menampakkan ciri-ciri khas dasar, yang membedakannya dari jenis-jenis kegiatan ekonomi yang mendahuluinya. Berbagai bentuk lain dari kapitalisme yang ditemukan oleh Weber, semuanya didapatkan dalam masyarakat-masyarakat yang ditandai secara khas oleh ‘tradisionalisme ekonomi’. Sikap-sikap terhadap kerja, yang menandai secara khas tradisionalisme, dijelaskan secara grafis, oleh pengalaman majikan-majikan kapitalisme modern, yang telah berusaha memperkenalkan metode-metode produksi kontemporer ke dalam komunitas-komunitas yang belum pernah mengenal metode-metode tersebut sebelumnya.
Kapitalisme modern, pada kenyataannya bukan didasarkan atas pengejaran keuntungan yang tidak bermoral, akan tetapi berdasarkan kewajiban bekerja dengan disiplin sebagai suatu tugas. Weber mengidentifikasikan segi-segi utama dari ‘semangat’ kapitalisme modern sebagai berikut:
1.    Semangat kapitalisme modern, ditandai secara khas oleh suatu kombinasi unik dari ketaatan kepada usaha memperoleh kekayaan dengan melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha menghindari pemanfaatan penghasilan ini untuk kenikmatan pribadi semata-mata. Hal ini berakar dalam suatu kepercayaan atas penyelesaian secara efisien, sebagai suatu kewajiban dan kebajikan.
2.    The Protestan Ethic hanya menaruh perhatian pada usaha menemukan karya intelektual siapakah bentuk konkrit khusus dari pikiran rasional itu, darimana berasal gagasan suatu panggilan dan pencurahan tenaga dan perhatian kepada kerja yang ada dalam panggilan itu.
3.    Menurut Weber, konsepsi ‘panggilan’ baru timbul sewaktu terselenggaranya reformasi. ‘Panggilan’ ini tidak ditemui ataupun tidak ada padanannya di dalam agama Katholik atau di zaman purba. Arti penting dari gagasan panggilan, dan caranya diterapkan dalam kepercayaan-kepercayaan Protestan, ialah bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama disegala aspek.

Pengaruh Agama Ascetis Protestanisme
Weber membedakan empat aliran utama dari agama Protestan ascetic yaitu: Calvinisme, Metodisme, Pietisme dan sekte Baptis. Bagian penting dalam analisa Weber, terpusat kepada Calvinisme. Ia lebih menitikberatkan kepada doktrin-doktrin yang diwujudkan dalam ajaran-ajaran kaum Calvin yang terjadi pada akhir abad ke-16 dan abad ke-17. Weber kemudian melanjutkan mengidentifikasi tiga ajaran utama yang sangat penting dalam Calivinisme yaitu:
a.    Doktrin yang mengajarkan bahwa alam semesta ini diciptakan untuk lebih meningkatkan keagungan Tuhan yang hanya mempunyai arti jika dikaitkan dengan maksud-maksud Tuhan. Tuhan itu tidak ada demi manusia, tetapi manusia itu ada demi kepentingan Tuhan.
b.    Prinsip bahwa maksud-maksud yang Maha Kuasa, berada di luar jangkauan pengertian manusia. Manusia hanya bisa mengetahui butiran-butiran kecil dari kebenaran Tuhan, bilamana dikehendakinya untuk diketahui oleh manusia.
c.    Percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan oleh Tuhan; hanya sedikit orang yang terpilih untuk memperoleh kasih sayang yang abadi. Hal ini merupakan sesuatu yang telah diberikan tanpa bisa diambil kembali dari saat pertama penciptaan; kasih sayang abadi ini tidak terpengaruh oleh kegiatan manusia, karena bila ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan manusia bisa mempengaruhinya maka ini berarti mempunyai pikiran bahwa kegiatan-kegiatan manusia bisa mempengaruhinya, penilaian Tuhan yang kudus.
Weber berargumentasi bahwa akibat dari doktrin ini, terutama point ke tiga maka muncullah dua tanggapan mengenai hal tersebut. Pertama tanggapan bahwa individu harus merasakan sebagai suatu kewajiban untuk menganggap dirinya sebagai yang terpilih: tiap keragu-raguan tentang kepastian pemilihan itu merupakan bukti dari kepercayaan yang tidak sempurna dan oleh karenanya tidak ada kasih sayang. Kedua tanggapan bahwa kegiatan duniawi yang sangat mendalam merupakan sarana yang cocok untuk mengembangkan dan mempertahankan keharusan memilih kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan demikian, penyelesaian “karya bajik” menjadi dianggap sebagai suatu ‘tanda’ terpilih – bukannya suatu metode untuk memperoleh keselamatan dalam segi apapun, akan tetapi lebih bersifat penghapusan kesangsian tentang keselamatan.
Bagi penganut Calvinisme, kerja di dunia materiil berkaitan dengan penilaian etika positif tertinggi. Memiliki kekayaan tidak memberikan suatu pengecualian apapun kepada seorang dari perintah Tuhan untuk bekerja tekun dan taat dalam panggilannya. Penting sekali dan menentukan bagi analisis Weber, bahwa ciri-ciri khas ini tidak ‘logis’, akan tetapi merupakan akibat-akibat psikologis dari doktrin orisinil mengenai takdir seperti yang dirumuskan oleh Calvin. Dengan demikian asal mula semangat kapitalis harus dicari dalam etika agama, yang paling penting cermat dikembangkan dalam aliran Calvinisme.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.

B.            Realita Pendidikan Kewirausahaan di Indonesia
Menurut data statistik, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah sebanyak 234 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2011 menjadi 247 juta jiwa. Jumlah penduduk yang banyak ini merupakan tugas lebih bagi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sebagai generasi muda kita hendaknya dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah bukan dengan menjadi bagian dari masalah yang ada. Salah satu contoh tindakan kontribusi tersebut adalah melalui perubahan menuju kemandirian dan kewirausahaan.
Beberapa kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah ada kalanya dianggap merugikan operasional kegiatan wirausaha dalam bidang industri kecil dan menengah. Sebagai contoh penerapan ACFTA (Asean China Free Trade Agreement)[2] yang menyebabkan sentra industri sepatu di cibaduyut harus berjuang lebih keras untuk dapat menyaingin produk china yang masuk ke Indonesia dan rata-rata lebih murah dibandingkan harga sepatu buatan industri cibaduyut meskipun dengan kualitas produk dalam negeri yang tak kalah bagus. Selama akhir dekade ’90-an, produk sepatu hasil industri cibaduyut banyak yang diekspor ke negara-negara wilayah timur tengah dan kualitasnya sudah diakui oleh pelanggan dari negara Arab. Akan tetapi, akibat dari kebijakan ACFTA yang memberikan bea masuk sangat rendah (0-5%) untuk barang produksi china sedangkan bahan baku industri sepatu dalam negeri masih tinggi menyebabkan sepatu produksi Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Harga produksi sepatu indonesia masih tergolong mahal bagi konsumen sendiri yaitu masyarakat sehingga kebanyakan masyarakat justru menjadi pelanggan produk china.
Dalam hal menyikapi resiko seperti contoh di atas seorang entrepreneur harus mampu bepikir out of the box untuk keluar dari krisis, merespon masalah secara nyata, berani mengambil resiko dan akan lebih baik lagi bila mampu mengubah krisis yang ada menjadi peluang. Pemerintah sudah menjalankan program berupa bantuan ekonomi dalam bentuk kredit modal, bantuan promosi, maupun usaha pelatihan manajemen dan marketing. Namun demikian, inisiatif dan motivasi untuk menjadi seorang entrepreneur maupun bertindak menjalankan usaha yang ada dengan jiwa-jiwa entrepreneur perlu ditumbuhkan dalam kalangan generasi muda bangsa. Salah satunya melalui Pendidikan Kewirausahaan.  Pendidikan kewirausaahan tampaknya sudah harus mulai diajarkan kepada generasi muda, yaitu pelajar di Indonesia. Tak dapat dielakkan lagi, salah satu agenda mendesak negara ini adalah mengatur penyerapan tenaga kerja serta upaya mengurangi dampak kemiskinan akibat dari krisis moneter dan era globalisasi yang kurang diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan kewirausahaan bukan berarti lembaga pendidikan formal maupun non formal seperti sekolah atau kursus, melainkan semacam praktek pendidikan yang bisa membentuk jiwa wirausaha dimulai dari ruang lingkup paling kecil yaitu lingkungan keluarga. Sosialisasi forum kewirausahaan sudah banyak diadakan dengan gencar di kampus-kampus. Namun, menurut penulis, kemunculan jiwa-jiwa wirausaha masih perlu ditingkatkan. Faktor internal dari segi kemauan perlu dimantapkan terlebih dahulu hingga tekad yang sudah ada dapat memicu kreativitas dan inovasi.
Praktiknya, terdapat beberapa kendala yang menyebabkan kurang efektifnya pendidikan kewirausahaan di Indonesia. Beberapa kendala dalam mengadakan pendidikan kewirausahaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.    Peserta didik yang tidak berani untuk memulai berbisnis kecil-kecilan karena bisa menganggu belajar sekolah. Pihak orang tua juga kadang melarang karena takut anaknya menjadi tidak fokus belajar.
2.    Persepsi mencari kerja masih lebih banyak dianut daripada mewujudkan lapangan kerja.
3.    Pendidikan kewirausahaan di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
4.    Anggapan bahwa modal utama berwirausaha adalah uang, padahal keyakinanlah yang diperlukan untuk tumbuh dan menang sebab menjadi seorang wirausahawan harus bersahabat dengan ketidakpastian.
5.  Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah learning by doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewirausahaan tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan.

C.           Solusi Penerapan Asumsi Max Weber terhadap Pendidikan Kewirausahaan di Indonesia
Diawali dengan pemaparan asumsi Max Weber tentang pahan Culvinisme yang menyatakan bahwa Tuhan telah menakdirkan golongan orang-orang yang terkutuk dan golongan orang-orang yang terselamatkan. Maka sebagai wujud diberkati Tuhan, seseorang harus berhasil dalam hidupnya, karena tidaklah ada keberhasilan yang tidak deberkati oleh Tuhan. Etika protestan ditengarai sebagai dasar semangat kapitalisme di Barat. Etika protestan yang merupakan spirit agama, yang diaplikasikan dalam bentuk spirit ‘dunia’. Apakah semangat kapitalisme ini mampu diterapkan di negara Indonesia dalam bentuk pendidikan kewirausahaan?
Sebelum merefleksikan asumsi Max Weber dalam pendidikan kewirausahaan di Indonesia, perlu diketahui rangkuman isi pokok-pokok ajaran kapitalisme modern dengan dasar etika protestan adalah sebagai berikut:
a.    fenomena empiris dimana Max Weber menemukan ada korelasi antara agama protestan dan kondisi prakapitalis.
b.    agen-agen penting didominasi oleh kaum protestan.
c.    etika protestan : bekerja sungguh-sungguh, tidak berfoya-foya, dan tidak konsumtif untuk mendorong kesuksesandi kehidupan nyata sebagai wujud kaum yang terselamatkan.
d.   Etika protestan dan semangat kapitalisme, berpengaruh besar dalam peralihan ekonomi tradisional ke ekonomi modern.
Sedangkan kekurangan dari teori Max Weber, dapat dianalisi sebagai berikut:
a.    hanya menjelaskan etika protestan tanpa menggali variable lain. misalnya budaya masyarakat, konflik sosial, dll.
b.    lebih kearah hanya pembuktian dari suatu fenomena tanpa arahan yang jelas untuk mengkondisikan pada suatu fenomena.
Sedangkan kelebihan dari teori Max Weber, dapat dianalisi sebagai berikut:
a.    memberikan alternatif pemikiran dan pembuktian bahwa tidak selamanya spiritualitas dan kepatuhan pada agama itu bersifat oposan dengan kemajuan.
b.    memberikan penjelasan bahwa terdapat keselarasan antara kemajuan dan agama.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan pendidikan kewirausahaan di Indonesia, realitanya masih sangat jauh dari arti ‘semangat kapitalisme’. Realita pendidikan kewirausahaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1)   Wirausaha tidak terlalu diminati oleh masyarakat Indonesia  dikarenakan masyaraka indonesia tidak suka mengambil resiko demi untuk mendapatkan sebuah keuntungan, atau dengan kata lain, orang-orang indonesia lebih menyukai hal-hal yang instant dan mudah didapat. Penanaman karakter yang tidak dididik untuk bekerja keras sejak dini menyebabkan tidak adanya semangat untuk survive sebagai seorang wirausaha. Realitanya dalam masyarakat para orang tua sering berkata "tugas kamu adalah sekolah, tidak usah mencari uang, mencari uang itu tugas bapak", jika hal ini dibiarkan, maka seterusnya anak akan lebih suka bergantung pada orang tua, dan pada akhirnya akan menyukai hal-hal instant. Selain itu, paradigma mengejar nilai sekolah yang tinggi adalah sebuah jaminan keberhasilan seorang anak, masih berkembang di masyarakat kita.
2)   Masyarakat Indonesia lebih suka bekerja sebagai pegawai, apalagi jika menjadi pegawai sebuah perusahaan asing. Penyebab ketertarikan orang Indonesia terhadap perusahaan asing adalah adanya paradigma ‘bangga’ jika mampu bekerja pada orang asing yang notabene levelnya lebih tinggi dari perusahaan di Indonesia.
3)   Kurangnya pendidikan karakter dalam hal kepemimpinan menyebabkan rasa ragu dan takut untuk memulai dan memimpin usaha sendiri (wirausaha).
Melihat kecenderungan sulitnya menerapkan pendidikan kewirausahaan di Indonesia, maka diperlukan proses yang sistematis dan sistemik untuk menerapkan spirit kapitalisme. Pandangan atau asumsi Max Weber dapat diterapkan pada pendidikan kewirausahaan di Indonesia, akan tetapi dengan prasyarat diadakannya sumber etika atau ajaran untuk mengkritisi ajaran yang baik dan buruk dalam berwirausaha serta transformasi kultural terhadap kebudayaan ‘tradisional’ di Indonesia. Sumber etika dimulai dari penanaman ajaran-ajaran (agama, pendidikan karakter, softskill,dll) yang nantinya mampu menjadi dasar pengembangan serta penerapan dalam kehidupan bermasyarakat. Sumber etika dalam berwirausaha  di kawasan Eropa (Barat) menurut Max Weber timbul dari spirit protestanisme, akan tetapi Indonesia bukanlah negara yang menganut paham kapitalisme modern. Pendidikan kewirausahaan di Indonesia sebenarnya sudah memiliki suatu sumber ajaran atau nilai-nilai pokok kewirausahaan yang ingin dikembangkan melalui pendidikan kewirausahaan, yang dirumuskan sebagai 6 tahap implementasi nilai-nilai kewirausahaan sebagai berikut:
1.    Mandiri
2.    Kreatif
3.    Berani mengambil resiko
4.    Berorientasi pada tindakan
5.    Kepemimpinan
6.    Kerja keras
Akan tetapi, rupanya pendidikan kewirausahaan di Indonesia belum sepenuhnya mampu melaksanakan ke enam kriteria pokok pembelajaran kewirausahaan. Untuk mengoptimalkan peran pendidikan kewirausahaan diperlukan transformasi kultural untuk membentuk mindset seorang wirausaha sepenuhnya. Pendidikan sebagai sebuah proses transformasi budaya, berarti suatu bentuk kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Pewarisan kebudayaan ini dilakukan dalam tiga benutk yaitu
1.    Nilai-nilai kebudayaan yang sesuai akan diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
2.    Nilai-nilai kebudayaan yang kurang sesuai akan dilakukan perbaikan dan penyesuaian yang akanmelahirkan bentuk kebudayaan baru
3.    Nilai-nilai kebudayaan yang tidak sesuai akan diganti dengan bentuk kebudayaan baru.
Transformasi budaya atau pewarisan budaya sangat diperlukan untuk memberikan scafolding dalam pelaksanaan pendidikan kewirausahaan. Selain itu, diperlukan dua bentuk penting transformasi budaya, yaitu keyakinan atau belief, nilai atau values yang akan berujung pada karakter. Terlepas dari pembenahan sumber ajaran dan nilai-nilai kebudayaan, masalah yang masih dihadapi Indonesia sekarang ini adalah pentingnya mengubah mindset etos pencari kerja menjadi etos wirausaha. Untuk mensukseskan program pendidikan kewirausahaan diperlukan dukungan dari komponen-komponen yang berpengaruh dalam lingkungan sistem masyarakat dan pendidikan. Peran agama yang menurut Max Weber seagai pendorong utama dalam semangat kapitalisme di Barat, tidak sepenuhnya sebagai faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di Dunia.











BAB IV
KESIMPULAN

Paham culvinisme adalah paham yang beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan golongan kaum yang terselamatkan serta golongan kaum yang terkutuk. Menyikapi keresahan akan golongan-golongan tersebut, maka Weber berasumsi bahwa untuk masuk kedalam golongan yang terselamatkan, seseorang harus bekerja keras di dunia untuk memperoleh keberhasilan hidup, karena seseorang yang berhasil tentunya adalah orang yang diberkati Tuhan. Semangat inilah yang kemudian dinamakan semangat protestanisme. Dalam essainya Max Weber menjelaskan hubungan antar etika protestan dengan spirit kapitalisme, bahwa di dalam ajaran agama Protestan terdapat ajaran tentang etos kerja yang mampu menjadi spirit kapitalisme modern.
Calvinisme, menurut Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi para wirausahawan kapitalis. Weber mengungkapkan, doktrin-doktrin Calvinisme memiliki ‘konsistensi besi’ dalam disiplin habis-habisan yang dituntut dari para pengikutnya. Akan tetapi munculnya kapitalisme modern tidak hanya dipengaruhi oleh paham calvinisme, akan tetapi adal  beberapa faktor lain seperti faktor pembangunan, sistem akuntansi, dan salah satunya adalah faktor pewarisan budaya melaui jalur pendidikan. Pendidikan kewirausahaan yang dimaksudkan adalah mampu menjadi transformer budaya atau tradisi  turun menurun.
Sebagai kesimpulan, maka dalam penerapan asumsi semangat kapitalisme, Indonesia telah memiliki seumber ajaran etika dalam pelaksanaan pendidikan kewirausahaan, akan tetapi dalam prakteknya, masih kurang. Hal pendukung yang tidak kalah pentingnya adalah transformasi budaya dengan memfilter budaya-budaya pembangun etos kerja serta menghindari paham tradisional yang membuat program wirausaha sulit berkembang.




DAFTAR PUSTAKA

Andreski, Stanislav. 1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
http://kem.ami.or.id/2011/10/pengembangan-kewirausahaan-di-indonesia/ diakses pada Rabu, 2 Mei 2012 pukul 20.00 WIB.
http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/teori-max-weber/  diakses pada Selasa, 24 April 2012 pukul 21:12 WIB.
http://www.santoslolowang.com/data/Artikel/Hukum_dan%20_Perubahan_Sosial.pdf  diakses pada Selasa, 24 April 2012 pukul 21:22 WIB.
Soemanto, Wasty.1999.Pendidikan Wiraswasta. Jakarta:Bumi Aksara.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 komentar:

Posting Komentar